number phone 0852 39 300 460

Kamis, 14 Maret 2013

Drs. Fransiskus Xaverius Seda




Kabinet Ampera I (25-07-1966 s/d 17-10-1967)
Kabinet Ampera II (11-10-1967 s/d 06-06-1968)

Pemrakarsa dan pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya ini pernah memegang empat kementerian berturut-turut dalam kabinet RI.
Pada tahun 1964 ditunjuk Bung Karno menjadi Menteri Perkebunan RI (1964 – 1966) dan Menteri Pertanian RI (1966). Pada tahun 1966 sampai dengan 1968 menjadi Menteri Keuangan RI setelah menjabat sebagai Tim Penasihat Ekonomi Presiden. Kemudian dalam masa Kabinet Pembangunan I di angkat sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Beberapa jabatan lain yang pernah di pegang adalah sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Katolik, Duta Besar RI di Belgia dan Laxemburg, Kepala Perwakilan RI untuk Masyarakat Ekonomi Eropa dan Anggota Dewan Petimbangan Agung. Di samping itu Frans Seda di kenal pula sebagai tokoh gereja, pengamat ekonomi dan politik, usahawan serta pelopor dalam dunia pendidikan.
Lahir di Lekebai, Sikka, Flores pad tanggal 4 Oktober 1926, anak Paulus Setu Seda yang di samping menjadi guru SD menjabat sebagai Kepala Desa. Latar belakangna dari keluarga berkecukupan dan terpandang, tidak membuatnya canggung bekerja sebagai tukang rumput, pemerah susu pad asebuah peternakan di lereng Gunung Merapai, loper susu dan penagih rekening. Tahun 1956  berhasil meraih gelar sarjana ekonomi pada Katholieke Economisce Hogeschool, Tilburg, Nederland. Salah seorang pendiri Aksi Dana Flores (bantuan untuk menanggulangi kelaparan di flores) ini menikah dengan Johana Maria Pattinaya, gadis kelahiran Malang, Jawa timur dan di karuniai dua orang anak. Frans Seda sendir adalah anak sulung dari delapan bersaudara.
Pada pertengahan 1980, ketika Pancasila ramai dibicarakan, Seda mengungkapkan bahwa pelanggaran etik dan moral, korupsi, dan penyalagunaan wewenang memiliki pengaruh sama bahayanya dengan usaha-usaha dari luar yang berusaha mengganti Pancasila.
‘Prestasi’ yang pernah dicatat dalam masa ajabatan Frans Seda adalah menurunkan laju inflasi pada tahun 1967 jauh lebih rendah di bandingkan dengan tahun 1966, yaitu 120% pada tahun 1967 dan 650% pada tahun 1966, tetapi masih merupakan angka yang tinggi dan secara objektif merupakan faktor pendorong kecenderungan kenaikan harga.
Disamping itu terjadi pula kegonjangan sebagai akibat kurang berhasilnya panen, devaluasi Poundsterling pada bulan November 1966, peningkatan harga pada hari-hari lebaran, natal, tahun baru dan adanya kekuatiran terhadap penurunan kembali nilai uang rupiah dengan mengeluarkan mata uang seri Soedirman untuk menggantikan seri Soekarno.


Untuk menanggulangi keadaan tersebut diambil kebijaksanaan khususnya dalam jangka pendek untuk mengatasi masalah kekurangan beras, memperbesar impor beras dan bahan-bahan pengganti beras, memperbesar persediaan pasaran dan melancarkan distribusi serta arus beras antar daerah.
Sedangkan kebijaksanaan jangka panjang di tunjuk untuk meningkatkan produksi beras dan pengarahan impor serta perencanaan-perencanaan di bidang ekonomi dan keuangan. Itulah sebagian masalah masa jabatan Frans Seda.
Pada tanggal 15 Juli 1968 ia termasuk dalam tim Ekonomi Presiden yang bertugas mengikuti perkembangan ekonomi dan mengajukan pertimbangan-pertimbangan mengenai masalah ekonomi kepada Presiden. Tim itu terdiri Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardana, Prof. Dr.Soemitro Djojokusumo, Drs. Radius Prawiro, Prof. Dr. Ir. Moh. Sadli, Dr. emil Salim, Dr. Subroto, dan Drs. Frans Seda.
Ketika pemerintah melakukan devaluasi 15 November 1978, Frans Seda menganalisisnya dari pendekatan pihak-pihak yang beradu kepentingan. Di satu pihak adalah pemerintah sebagai pihak yang mengambil keputusan, dan dilain pihak adalah masyarakat luas yang menanggung akibat kebijaksanaan kenop itu. “Para pedagang mendasarkan tindakan pada psikologis dan para pejabat (Pemerintah) berpegang pada logika. Keduanya tidak boleh saling berkonfrontasi, melainkan di dikaitkan dan di baurkan” Karena perbedaan pendekatan yang digunakan, sering dimaksud kebijaksanaan pemerintah tidak terwujud dilapangan, baik sebagian atau seluruhnya. Contoh adalah devaluasi November 1978 1978, masyarakat yang panik dan kecewa lebih menaruh kepercayaan kepada desas-desus daripada kepada himbauan pemerintah untuk tetap tenang dan rasional.
Pemerintah dianggap terlalu banyak berapologitik mengenai alasan diadakannya devaluasi dan pengambangan rupiah, padahal masyarakat telah maklum dan percaya maksud baik pemerintah. Yang lebih diperlukan adalah penjelasan atas jalan serta kemana arah ekonomi rakyat akan dibawa.
Peringatannya kepada pemerintah tidak berhenti sampai disitu, ‘pemegang patungan’ daripada sebagai ‘solidarity maker’ yang mampu meredam kepanikan dan menumbuh rasa senasib dan sepenanggungan di masyarakat luas pada masa ekonomi dilanda krisis.
Ia juga menyinggung ekonomi biaya tinggi produksi Indonesia yang disebabkan relative mahalnya servis pemerintah, baik birokrasi, maupun unit-unit usahanya, yang meliputi tarif dan non tarif, prosedur, inefiensi dan terutama karena sifat monopoli jasa-jasa unit pemerintah.


Silakan kritik dan saran tuk melengkapi artikel ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sonde apa2 bosong coment sa......