Kabinet Ampera I (25-07-1966 s/d
17-10-1967)
Kabinet Ampera II (11-10-1967 s/d
06-06-1968)
Pemrakarsa dan pendiri Fakultas Ekonomi Universitas
Atmajaya ini pernah memegang empat kementerian berturut-turut dalam kabinet RI.
Pada tahun 1964 ditunjuk Bung Karno menjadi Menteri
Perkebunan RI (1964 – 1966) dan Menteri Pertanian RI (1966). Pada tahun 1966
sampai dengan 1968 menjadi Menteri Keuangan RI setelah menjabat sebagai Tim
Penasihat Ekonomi Presiden. Kemudian dalam masa Kabinet Pembangunan I di angkat
sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Beberapa jabatan lain
yang pernah di pegang adalah sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Katolik,
Duta Besar RI di Belgia dan Laxemburg, Kepala Perwakilan RI untuk Masyarakat
Ekonomi Eropa dan Anggota Dewan Petimbangan Agung. Di samping itu Frans Seda di
kenal pula sebagai tokoh gereja, pengamat ekonomi dan politik, usahawan serta
pelopor dalam dunia pendidikan.
Lahir di Lekebai, Sikka, Flores pad tanggal 4 Oktober
1926, anak Paulus Setu Seda yang di samping menjadi guru SD menjabat sebagai
Kepala Desa. Latar belakangna dari keluarga berkecukupan dan terpandang, tidak
membuatnya canggung bekerja sebagai tukang rumput, pemerah susu pad asebuah
peternakan di lereng Gunung Merapai, loper susu dan penagih rekening. Tahun
1956 berhasil meraih gelar sarjana
ekonomi pada Katholieke Economisce Hogeschool, Tilburg, Nederland. Salah
seorang pendiri Aksi Dana Flores (bantuan untuk menanggulangi kelaparan di
flores) ini menikah dengan Johana Maria Pattinaya, gadis kelahiran Malang, Jawa
timur dan di karuniai dua orang anak. Frans Seda sendir adalah anak sulung dari
delapan bersaudara.
Pada pertengahan 1980, ketika Pancasila ramai
dibicarakan, Seda mengungkapkan bahwa pelanggaran etik dan moral, korupsi, dan
penyalagunaan wewenang memiliki pengaruh sama bahayanya dengan usaha-usaha dari
luar yang berusaha mengganti Pancasila.
‘Prestasi’ yang pernah dicatat dalam masa ajabatan
Frans Seda adalah menurunkan laju inflasi pada tahun 1967 jauh lebih rendah di
bandingkan dengan tahun 1966, yaitu 120% pada tahun 1967 dan 650% pada tahun
1966, tetapi masih merupakan angka yang tinggi dan secara objektif merupakan faktor
pendorong kecenderungan kenaikan harga.
Disamping itu terjadi pula kegonjangan sebagai
akibat kurang berhasilnya panen, devaluasi Poundsterling pada bulan November
1966, peningkatan harga pada hari-hari lebaran, natal, tahun baru dan adanya
kekuatiran terhadap penurunan kembali nilai uang rupiah dengan mengeluarkan
mata uang seri Soedirman untuk menggantikan seri Soekarno.
Untuk menanggulangi keadaan tersebut diambil
kebijaksanaan khususnya dalam jangka pendek untuk mengatasi masalah kekurangan
beras, memperbesar impor beras dan bahan-bahan pengganti beras, memperbesar
persediaan pasaran dan melancarkan distribusi serta arus beras antar daerah.
Sedangkan kebijaksanaan jangka panjang di tunjuk untuk
meningkatkan produksi beras dan pengarahan impor serta perencanaan-perencanaan
di bidang ekonomi dan keuangan. Itulah sebagian masalah masa jabatan Frans
Seda.
Pada tanggal 15 Juli 1968 ia termasuk dalam tim Ekonomi
Presiden yang bertugas mengikuti perkembangan ekonomi dan mengajukan pertimbangan-pertimbangan
mengenai masalah ekonomi kepada Presiden. Tim itu terdiri Prof. Dr. Widjojo
Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardana, Prof. Dr.Soemitro Djojokusumo, Drs. Radius
Prawiro, Prof. Dr. Ir. Moh. Sadli, Dr. emil Salim, Dr. Subroto, dan Drs. Frans
Seda.
Ketika pemerintah melakukan devaluasi 15 November 1978,
Frans Seda menganalisisnya dari pendekatan pihak-pihak yang beradu kepentingan.
Di satu pihak adalah pemerintah sebagai pihak yang mengambil keputusan, dan
dilain pihak adalah masyarakat luas yang menanggung akibat kebijaksanaan kenop
itu. “Para pedagang mendasarkan tindakan pada psikologis dan para pejabat
(Pemerintah) berpegang pada logika. Keduanya tidak boleh saling berkonfrontasi,
melainkan di dikaitkan dan di baurkan” Karena perbedaan pendekatan yang
digunakan, sering dimaksud kebijaksanaan pemerintah tidak terwujud dilapangan,
baik sebagian atau seluruhnya. Contoh adalah devaluasi November 1978 1978,
masyarakat yang panik dan kecewa lebih menaruh kepercayaan kepada desas-desus
daripada kepada himbauan pemerintah untuk tetap tenang dan rasional.
Pemerintah dianggap terlalu banyak berapologitik
mengenai alasan diadakannya devaluasi dan pengambangan rupiah, padahal
masyarakat telah maklum dan percaya maksud baik pemerintah. Yang lebih
diperlukan adalah penjelasan atas jalan serta kemana arah ekonomi rakyat akan
dibawa.
Peringatannya kepada pemerintah tidak berhenti sampai
disitu, ‘pemegang patungan’ daripada sebagai ‘solidarity maker’ yang mampu
meredam kepanikan dan menumbuh rasa senasib dan sepenanggungan di masyarakat
luas pada masa ekonomi dilanda krisis.
Ia juga menyinggung ekonomi biaya tinggi
produksi Indonesia yang disebabkan relative mahalnya servis pemerintah, baik
birokrasi, maupun unit-unit usahanya, yang meliputi tarif dan non tarif, prosedur,
inefiensi dan terutama karena sifat monopoli jasa-jasa unit pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
sonde apa2 bosong coment sa......