Kabinet Sukiman (27-04-1951 s/d
03-04-1952)
Kabinet Ali Sastroamidjojo (24-03-1956
s/d 09-04-1957)
Putera ketiga dari empat bersaudara yang dilahirkan di
magelang pada tangggal 28 pebruari 1909 ini memang selalu teguh pada pendirian.
Saat lulus dari HIS, Jusuf Muda tetap berkeeras ingin meneruskan pendidikan ke
MULO meski ayahnya, Pak Kunto Wibisono, lebih menghendaki si anak meneruskan ke
Kweekschool yaitu sekolah yang mendidik para calon guru di Ungaran. Pernah pula
mengecap pendidikan di STOVIA. Namun hanya sesaat saja disitu karena
berdasarkan pemeriksaan kesehatan Jusuf Wibisono dinyatakan kurang memenuhi
syarat.
Setelah berhasil mengantongi
ijazah MULO (1928), Jusuf melanjutkan ke AMS A-II di Bandung, satu-satunya
sekolah yang mengajarkan bahasa Latin dan Yunani, salah satu klasik barat yang
diminati Jusuf.
Tahun
1931, selepas dari AMS A-II, Jusuf mulai belajar hokum di RHS (Rechts Hoge
School) Jakarta meskipun pada awalnya ia ragu akan kemampuannya menhafal
pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang. Berkat usaha dan kerja keras akhirnya
pada tahun 1941, sekitar dua hari sebelum pendudukan Jepang, Jusuf Wibisono
berhak-membubuhkan tanda Mr. (Meester in de Rechten) di depan namanya.
Organisasi pemuda yang pertama diikutinya adalah Jong
Islamieten Bond (JIB). Ketika Jusuf menyadari bahw perkembangan JIB lebih
condong kea rah soal-soal social dan hal ini tak seiring dengan perasaan dan
alam pikirnya, maka pada tahun 1934 didirikan organisasi baru yang di khususkan
untuk kaum mahasiswa Islam secara kritis dan toleransi.
Jusuf Wibisono memangku jabatan Menteri Keuangan pada
saat kabinet Ali II dibentuk. Dalam programnya di bidang ekonomi-keuangan,
Kabinet Ali II antara lain menyebutkan bahwa pemerintah harus memperkuat
kedudukan pengusaha nasional dengan cara member kredit murah dan lancer,
mengungat selama itu pengusaha kecil sukar sekali mendapatkan kredit dari
bank-bank pemerintah. Dalam pelaksanaannya, Jusuf selaku Menteri Keuangan yang
bertanggung jawab atas program tersebut member kuasa pada bank-bank swasta
nasional yang di anggap bonafid untuk memberi kredit pada pengusaha-pengusaha
nasional dengan jaminan dari Kementerian Keuangan.
Salah satu rencananya yang mendapat tantangan keras
terutama dari SOBSI, ialah usaha untuk meningkatkan mutu serta kesejahteraan
para pegawai negeri di samping juga untuk penghematan pengeluaran Negara dengan
jalan merencanakan rasionalisasi dalam kalangan pegawai negeri. Hal ini di rasa
perlu oleh Jusuf mengingat jumlah pegawai negeri yang tidak mempunyai ketrampilan
saat itu terlalu banyak dengan tujuan efisiensi, berniat menurangi jumlah
pegawai sebesar 30%. Jusuf menambahkan bahwa, pegawai negeri yang terkena
rasionalisasi masih akan menerima gaji yang tiap bulannya dipotong sebesar 20%
selama 5 tahun.
Dalam kaitannya dengan masalah kemunduran ekspor
yang telah terjadi semenjak tahun 1956, Jusuf mengusulkan kepada Dewan Moneter
agar member insetif kepada kaum eksportir. Pada awalnya, atas usul Jusuf, premi
itu diberikan langsung dalam bentuk valuta asing yang bisa dijual dengan bebas.
Namun sebagian anggota Dewan Moneter tidak setuju karena hal tersebut akan
mengakibatkan pengurangan jumlah valuta asing yang sebenarnya malah jumlah
harus bertambah. Akhirnya disetujui suatu peraturan baru Bukti Pendorong Ekspor
(BPE) yang mengatur bahwa Eksportir yang menerima sertifikat BPE berhak membeli
valuta asing, namun apabila pengeluaran itu dapat merangsang penerimaan valuta
asing lebih banyak tentunya hal itu akan menguntungkan.
Silakan kritik dan saran tuk melengkapi artikel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
sonde apa2 bosong coment sa......