Kabinet Syahrir III (02-10-1946 s/d
26-06-1947)
Kabinet R I S (20-12-1949 s/d
06-09-1950)
Kabinet Natsir (06-09-1950 – 27-04-1951)
Sjafruddin Prawiranegara adalah ‘presiden’
kedua dalam sejarah Indonesia. Keterlibatannya memimpin RepublikIndonesia di
saat pemerintah di Yogyakarta jatuh pada agresi militer Belanda II tahun 1948
dikenang secara legendaries dalam sejarah Indonesia.
Pendidikan putra asisten wedana
di Banten ini dilandasi sekolah-sekolahsekular seperti ELS, Sekolah rendah
untuk orang Eropa di Ngawi Jawa Timur. Setamat Mulo, putra Banten kelahiran 28
februari 1911 ini melanjutkan ke AMS bagian A di Bandung. Minatnya pada hukum
dan kesusastraan mendorongnya untuk masuk Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di Jakarta
pada tahun 1924 dan lulus Master in de Rechten (Mr.) pada bulan September 1929.
Setelah bekerja pada Perserikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran
(PPRK) dan redaktur Soera Timoer ia
terjun di Kantor Inpeksi Pajak Depertemen Keuangan Kediri.
Sifat moderatnya tampak dalam pilihan organisasi
kemahasiswaannya, Unitas Studioforum Indonesia (USI), yang tidak berpolitik
praktis tapi tidak juga bergaya hura-hura.
Sifat yang sama bertahun-tahun
kemudian ia tunjukan dengan mendukung tindakan kerja sama dengan Belanda.
Semata-mata untuk mengejar ketertingggalan dalam bidang pendidikan dan
teknologi. Pemikirannya itu banyak dipengaruhi dosen-dosennya yang berpandangan
politik etis yakni Prof. Logemann dan Prof. Baron van Asbek.
Sifatnya berubah ketika ia
menyadari Belanda tidak sungguh-sungguh ingin mendidik dan memberi kesempatan
bagi Bangsa Indonesia untuk mengurus dan memerdekakan diri.
Karirnya
di pemerintahan menanjak drastic ketika Perdana Menteri Sjahrir menemuinya
dengan bersepeda dan bercelana pendek untuk menawarkan jabatan Menteri
Keuangan. Tawaran itu dia tolak. Baru pada masa kabinet Sjahrir III ia menerima
jabatan itu.
Kebijaksanaannya
manajerialnya di Depertemen Keuangan adalah restrukturisasi organisasi menjadi
serupa depertemen van Financien pada masa kolonial Belanda. Di samping itu
Sjafruddin juga mencetus ide pembuatan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Tanggal
29-30 Oktober 1946 idenya direalisasikan ke seluruh Jawa, Madura dan Sumatera.
Tapi bukan tanpa hambatan, sebab di saat hamper bersamaan pihak NICA juga
mengeluarkan uang senjata ekonominya yaitu uang NICA. Menjelang Agresi Militer
Belanda II ia menjabat Menteri Kemakmuran pada cabinet Hatta II.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI)
Kalau
saja Sjafruddin tidak berkunjung ke Sumatera akhir 1948, mugkin sejarah
Indonesia akan lain jadinya. Kawat yang mengabarkan kejatuhan Yogyakarta ke
tangan Belanda dan kesepakatan antar ‘founding fathers’ sebelum peristiwa itu,
mendorongnya untuk mengambil inisiatifnya menjabat Ketua PDRI di Sumatera,
karena pemerntah pusat tidak dapat menjalankan fungsinya. Bersama-sama Mr.
Teunku Mohammad Hasan, dan Kolonel Hidayat masing-masing selaku Ketua
Komisariat Pemerintah Pusat dan Panglima Teritorial Sumatera ia memproklamirkan
PDRI tangggal 22 Desember 1948. Beberapa jam kemudia Belanda masuk kota
Pakuyumbuh, dan mencari pusat pemerintahan darurat itu. Sjafruddin secara
‘mobil’ mengadakan hubungan dengan daerah lain bahkan ke seluruh dunia
menyatakan pembetukan pemerintah darurat RI. Tindakan itu sekaligus menangkis
pernyataan Belanda bahwa Republik Indonesia telah tamat bersamaan dengan
penangkapan para pemimpinnya.
Informasi itu secara langsung atau tidak
langsung memancing opini dunia yang mengeca tindak kekerasan Belanda dan
menuntut ditaatinya kedaulatan dan di kembalikannya pemimpin Indonesia. Desakan
internasional memaksa Belanda melakukan perundingan Roem Royen. Sjafruddin
menyambut perundingan itu dengan kekuatiran karena menganggap adanya
ketimpangan kondisi kedua pihak. Sebab pihak Indonesia yang di wakili oleh Mr.
Mohammad Roem tidak ditunjuk dari pemimpin PDRI melainkan dari pemimpin
Indonesia dalam tawanan. Karena itulah ia menolak hasil keputusan perundingan
itu. Baru setelah Mohammad Hatta mengutus M. Natsir untuk menyampaikan hasil
perjanjian itu, ia mau mengubah sikapnya.
Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI)
Terdorong untuk meluruskan
pemerintahan Presiden Soekarno yang di anggap telah menyimpang dari konstitusi,
di samping alasan ketimpangan pembangunan daerah, dan keamanan pribadi, ia
bersama Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir menyingkir ke Sumatera, kemudian
bersama-sama tokoh-tokoh militer pembangkang seperti Letkol. Achmad Husein dan
Kolonel Simbolon, mereka memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) yang beribu kota di Bukit Tinggi. Program Gerakan PRRI yang di
proklamasikan tanggal 15 februari 1958 ini adalah menghapuskan cabinet Djuanda
dan Konsep ‘Demokrasi Terpimpin’ Presiden Soekarno.
Akibatnya, Presiden Soekarno memerintah penyelesaian
secara militer dengan menyerang kota Padang, Bukit Tingggi dan Medan. Para
pemimpin PRRI kemudian menyerahkan diri dengan harapan akan diberi amnesty
abolisi yang di janjikan dalam Kepres No. 449 tahun 1961. Namun tak urung ia
sempat di ahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) hingga munculnya pemerintah Orde
Baru
Kegiatan Non Politik
Selepas karir plitiknya, ia giat
menjadi da’I, duduk dalam DDII (Dewan Dakhah Islamiyah Indonesia), dan banyak
membuat tulisa bernafaskan islam. Hingga akhir hayatnya,15 februari 1989,
Sjafruddin telah banyak memberikan sumbangan bagi Negara walaupun banyak di
antara pikiran dan tindakannya tidak lazim bagi pemikiran awam dan zamannya
Julukan
‘gunting Sjafruddin’ melekat pada kebijaksanaan moneternya dalam memerangi
inflasi. Seluruh uang pra-federal di atas f2,50 di potong dua dan dinilai
separuhnya. Berbeda dengan kebijaksanaan moneternya kebijaksanaan fiskalnya
kurang berhasil menutup deficit. Secara meyakinkan jumlah penerima rutin
meningkat tapi anggaran belanja Negara ikut meningkat
Dalam jabatan yang sama dalam kabinet Mohammad Natsir,
ia di hadang masalah pemogokn buruh pabrik, rendahnya produktifitas dan
terbatasnya anggaran pemerintah.
Ketika
De Javasce Bank dilikuidai dan dinasionalis menjadi Bank Indonesia, Sjafruddin
menggatikan Dr. A. Howink menjadi Gubernur Bank Indonesia. Semasa menduduki
jabatan itu sikap moderat yang cenderung ke konservatif ditunjukannya dengan menantang para pendukung
nasionalis perusahaan-perusahaan Negara dari tangan Belanda. Padahal
konfrontasi Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda tengah berlangsung.
Sikap yang melawan arus itu di tuding oleh lawan-lawan politiknya, terutama
PKI, sebagai sikap pro Belanda.
Sumber:
Depertemen Keuangan Republik Indonesia “Album Rupiah Di Tengah Rentah Sejarah 45 Tahun ORI” Tahun 1991
Silakan kritik dan saran tuk melengkapi artikel
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
sonde apa2 bosong coment sa......