Kabinet Wilipo (03-04-1952 s/d
30-07-1953)
Kabinet Burhanuddin Harapan (12-08-1955 s/d
24-03-1956)
Masa jabatan sumitro banyak diwarnai keputusan besar.
Di antaranya program Benteng yang memberi prioritas bagi pengusaha pribumi dan
mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap kekuatan ekonomi asing. Berhasil
menekan inflasi pad tingkat yang rendah di masa menjabat mentri Keuangan.
Sumitro turut pula dalam nasionalisasi De Javasche Bank, saat menjabat Menteri
Keuangan pada kabinet wilopo dan menghapuskan sistem lisensi peninggalan
kabinet sebelumnya. Dikenalpula sebagai pendiri sekaligus dekan pertama
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Lepas dari jabatan di pemerintahan pun ide-ide Sumitro
senantiasa aktual seperti mengusulkan penangguhan proyek-proyek besar pada masa
resesida sumbangannya bagi perkembangan ilmu ekonomi yang berorientasi
kebijaksananan pembangunan.
“Ada empat factor yang menentukan keberhasilan
pemerintah Orde Baru, yaitu kekuatan efektif, wawasan politik keahlian teknis
dan rasa tanggungjawab kepada kepentingan rakyat”, ucap Sunitro di tahun ketiga
pelita I.
Tiga belas tahun kemudian, 1985, ia menambahkan,
“perlunya pengertian yang rinci tentang tinggal landas pada pelita VI agar
tidak tumbul barbagai penafsiran tanpa suatu tolok ukur”. Demikian pidatonya
tentang Tanggung jawab Profesional
seorang ekonomi dari masa kemasa”. Konsitensi dan dedikasi, itulah yang
terbias dari kiprah Cum, damikian
nama panggilan sumitro
Doktor ekonomi lulusan Ekonomiche Hogeschool,
Rotterdam tahun 1942 ini langsung bertugas dibawah perdana Menteri Sjahrir
sekembalinya ke Indonesia. Sumbangannya selama masa revolusi fisik adalah
anggota delegasi ke PBB bersama L.N Palar dan turut dalam Konprensi Meja Bundar
di Den Haag tahun 1949.
Lahir di Kebumen 29 Mei 1917, anak sulung Margono
Djojohadikusumo, pendiri Bank BNI 1946 dan anggota DPA ini, pernah diuntungkan
oleh Perang Korea ketika permintaan karet alam memperbesas cadangan devisa
Indonesia. Pada saat menjabat Menteri Keuangan, cadangan devisa Indonesia
sedemikian besarnya, cukup untuk kebutuhan 4-5 tahun.
Hubungan baiknya dengan pers menambah popularitasnya.
Sekaligus membawa predikat khusus bagi mantan Menteri Perdagangan (1950-1951)
dan Menteri Riset (1972-1978). Dialah ‘Empu stabilisasi ekonomi Indonesia’.
Cum yang berhasil menamatkan sarjana mudanya di Universite
de Sorbonne, Paris ini dikaruniai empat orang anak dari perkawinannya dengan
Dora Sigar yang berasal dari Sulawesi Utara.
M. Dawam Rahardjo, seorang kolumnis, pernah mengulas
bagaimana pola piker Sumitro melatarbelakangi pengambilan
keputusan-keputusannya.
Sumitro dengan tegas menganjurkan pembangunan industri
tapi dalam kontrol nasional. Maksudnya adalah mengaitkan pembangunan sector industri
ringan dengan pembangunan sektor pertanian. Dalam konteks sekarang, Sumitro
tidak akan gampang menerima industri teknologi tinggi. Ia pasti akan
mempertimbangkan kendala pada kesempatan kerja, neraca pembayaran dan struktur ekonomi Indonesia.
Ia tidak mau melihat sektor industri dikuasai modal asing.
Kerangka pemikiran Sumitro itu sebenarnya mengandung
kritik terhadap kebijaksanaan ekonomi Orde Baru dan mengkritalisasikan kritik-kritik
masyarakat yang kemudian di aplikasikan dalam GBHN dan Repelita II sejak tahun
1978.
Ada dua kutub strategi industrialisasi. Strategi
industralisasi subsitusi impor tidak pas dengan kerangka gagasan Sumitro. Tapi
Ia juga sepenuhnya melihat industrialisas yang berorientasi ekspor sebagi jalan
keluar. Ia tidak mempertentangkan dua strategi itu karena ia tidak melihatnya
masalahnya secara lain. Obsesinya pada tahun 1950-an adalah memperkuat
kemampuan produsen kecil dibidang pertanian dan industri. Dalam hal ini Negara
perlu melibatkan diri. Perbankan dan kebijaksanaan moneter (yang pada waktu itu
menjadi sasaran kritiknya) harus bisa menjangkau kesitu.
Berbeda dengan Sjafruddin Prawiranegara, yang kurang
percaya pada efisiensi dan produktivitas perusahaan Negara menjalankan industri,
Sumitro ingin membangun sektor Negara dibidang produksi dan mambantu produsen
kecil melalui pusat-pusat pengembangan di sentra-sentra industry rakyat. Hal
ini baru memperoleh perhatian pemerintah Orde Baru pada 1978.
Pada 1985, Sumitro melontarkan kritik pada struktur
industri sekarang yang nampaknya saja produktif tapi rapuh, karena mengandung
subsidi, proteksi dan monopoli yang diberikan pemerintah. Apabila tata niaga
bahan-bahan industry diatur supaya tidak mengakibatkan distorsi, industry yang
dasar efisiensinya rapuh akan mengalami keguncangan. Pemilihan industry untuk
dikembangkan, bagi Sumitro perlu selektif, dengan menimbang keuggulan kompratif
sebagai dasar melihat kemampuan menghasilkan nilai tambah, mengembangkan sumber
daya manusia dan sumber daya alam. Tak lupa pila mempertimbangkan kendala
tersedianya devisa. Industri seperti itu bisa saja berorientasi ke ekspor, tapi
bisa pula memanfaatkan pasar dalam negeri sambil membangun daya beli masyarakat
dan memperkuat pasar domestik.
Sumitro melihat persoalan ekonomi dari segi struktur,
sistem, dan proses. Walau bidang studi akademisnya adalah moneter, ia menolak
pandangan-pandangan moneteris. Pendekatannya lebih strukturalis. Sistem
tataniaga dan jalur-jalur pemasaran Komoditi di pedesaan suda menjadi perhatiannya
sejak dulu. Sumitro memandang pembangunan pertanian dalam kerangka dalam sistem
agribisnis, yaitu dengan melihat kebelakang dan kedepan.
Pandangan-pandangannya dianalisis oleh
Glassburner sebagai, “secara nominal adalah sosialistis, Walaupun secara esensial
lebih tepat disebut pragmatis” dua pengertian yang sering dipertentangkan.
Secara umum pandangnya tak pernah menyimpang dari arus pokok pemikiran ekonomi.
Tapi pemikiran Sumitro pernah bergerak “jauh kekiri”, tapi lebih jelas bersikap
“nasionalistis”. Ini dikaitkan dengan pandangannya mengenai pentingnya peran
Negara melalui perencanaan dan interfensi langsung maupun tidak langsung, guna
memecahkan stagnasi, dan membina kemandirian ekonomi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
sonde apa2 bosong coment sa......